Rabu, 22 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Pasien Dekompensasi Cordis

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DEKOMPENSASI CORDIS


A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah keadaan patofisiologik dimana jantung pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Price, 1994: 583). Pengertian lain menyebutkan bahwa dekompensasi cordis adalah ketidakmampuan jantung memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan kebutuhan oksigen jaringan (Doenges, 2000: 48). Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dekompensasi cordis merupakan keadaan jantung yang sudah tidak mampu lagi memompa darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.
B. Anatomi


Gb. Skema Aliran Darah (Brunner & Suddarth, 2002 : 721)
Ruangan jantung bagian atas atrium, secara anatomi terpisah dari ruangan jantung sebelah bawah atau ventrikel oleh suatu anulus fibrosus. Secara fungsional jantung dibagi menjadi alat pompa kanan dan alat pompa kiri yang memompa darah vena menuju sirkulasi paru-paru dan darah bersih ke peredaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini mempermudah konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomis: vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, arteria pulmonalis, paru-paru, vena pulmonalis, atrium kiri, ventrikel kiri, aorta, arteriola, kapiler, venula, vena, vena kava.

C. Etiologi
Menurut Price (1994:584) decompensasi cordis adalah sebagai berikut:
1. Kelainan mekanis.
a. Peningkatan beban tekanan
1) Sentral (stenosis aorta dan sebagainya)
2) Perifer (hipertensi sistemik dan sebagainya)
b. Peningkatan beban volume (regurgitasi katub, pirau, peningkatan beban awal dan sebagainya)
c. Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitralis atau trikus pidalis).
d. Tamponade perikardium.
e. Restriksi endokardium atau miokardium.
f. Aneurisme ventrikel.
g. Dis sinergi ventrikel.
2. Kelainan miokardium
a. Primer
1) Kardiomiopati.
2) Miokarditis.
3) Kelainan metabolik.
4) Toksisitas, (alkohol, obat dan sebagainya).
5) Presbikardia.

b. Kelainan dis-dinamik sekunder (sekunder terhadap kelainan mekanis) .
1) Kekurangan oksigen (penyakit jantung koroner).
2) Kelainan metabolik.
3) Inflamasi.
4) Penyakit sistemik.
5) Penyakit paru obstruktif menahun.
3. Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi.
a. Henti jantung.
b. Fibrilasi.
c. Takikardi atau bradikardi yang berat.
d. Asinkronisasi listrik, gangguan konduksi.

D. Gejala klinis
Klasifikasi fungsional dari the new york heart association umum dipakai untuk menyatakan hubungan antara awal gejala dan derajat latihan fisik yaitu:
Kelas I: Bila klien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
Kelas II: Bila klien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas III: Bila klien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas IV: Bila klien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun, klien harus tirah baring.
Adapun tanda dan gejalanya menurut Chung (1995: 234-236) adalah sebagai berikut:
1. Kelelahan/ kelemahan.
2. Dispnea.
3. Ortopne.
4. Dispne nokturia paroksimal.
5. Batuk.
6. Nokturia.
7. Anoreksia.
8. Nyeri kuadran kanan atas.
9. Takikardia.
10. Pernapasan cheyne-stokes.
11. Sianosis.
12. Ronkhi basah
13. Peninggian tingkat pulsasi vena jugularis.
14. Hepatosplenomegali.
15. Asites.
16. Edema perifer

E. Pengkajian fokus
Menurut Doenges (2000: 52) pengkajian fokusnya adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas/ istirahat.
Gejala : Keletihan atau kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada istirahat atau pada pengerahan tenaga.
Tanda : Gelisah, perubahan status menilai mental, misal letargi, tanda vital berubah pada aktivitas.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, episode gagal jantung kiri (sebelumnya), penyakit katub jantung, endokarditis, sistemik lupus erythematosus, anemia, syok septik.
Bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen :sabuk terlalu ketat” (pada gagal bagian kanan).
Tanda : Tekanan darah mungkin darah rendah (gagal pemompaan), normal (GJK ringan atau kronis) atau tinggi (kelebihan beban cairan). Tekanan nadi mungkin sempit, menunjukkan penurunan volume sekuncup, frekuensi jantung takikardia (gagal jantung kiri).
Bunyi jantung: S2 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah. Murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya stenosis katub atau insufisiensi.
Punggung kuku: pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat. Hepar: pembesaran atau dapat teraba: reflek hepatojugularis. Bunyi napas: brekels, ronki.
3. Integritas ego
Gejala : Ansietas, kuatir, batuk, stres yang berhubungan dengan penyakit atau keprihatinan finansial.
Tanda : Berbagai manifestasi prilaku, misal ansietas, marah, ketakutan, mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, abdomen berwarna gelap, berkemih malam hari, diare atau konstipasi.
5. Makanan/ cairan.
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/ muntah, penambahan BB signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian atau sepatu sesak, diet tinggi garam atau makanan yang telah diproses, lemak, gula dan kafein, penggunaan diuritik.
Tanda : Penambahan berat badan tetap.
Distensi abdomen (asites), edema, (umum, depender, tekanan, pitting).
6. Hygiene
Gejala : Keletihan atau kelemahan, kelelahan selama aktivitas perawatan diri.
Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
Tanda : Letargi, kusut pikiran, disorientasi, mudah tersinggung.

8. Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas, sakit pada otot.
Tanda : Tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri), prilaku melindungi diri.
9. Pernafasan
Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk, atau dengan beberapa bantal, batuk dengan tanpa pembentukkan sputum, riwayat penyakit paru kronis, gangguan bantuan pernapasan.
Tanda : Pernafasan takipnea, nafas dangkal, batuk kering/ nyaring/ non produktif atau terus menerus dengan tanpa sputum, dengan krakels basiler dan mengi.
Fungsi mental: mungkin menurun, letargi, kegelisahan, warna kulit: pucat atau sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan atau tonus otot, kulit lecet.
11. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
12. Pembelajaran atau pengajaran
Gejala : Menggunakan atau lupa menggunakan alat-alat jantung.
Tanda : Bukti tentang ketidakberhasilan atau meningkatkan.

F. Patofisiologi
Patofisiologi decompensasi cordis/ gagal jantung menurut Price (1994: 583) adalah sebagai berikut:
1. Gagal jantung kiri
Kegagalan dari pemompaan oleh ventrikel kiri mengakibatkan curah jantung menurun. Akibat ke depan menimbulkan gejala kelemahan atau kelelahan. Sedangkan akibat ke belakang mengakibatkan toleran dan volume akhir diastole meningkat sehingga terjadi bendungan vena pulmonalis, kemudian terjadi di paru-paru. Akibat adanya sisa tekan di ventrikel kiri mengakibatkan rangsang hipertrofi sel yang menyebabkan kardiomegali. Beban atrium kiri meningkat dan akhirnya terjadi peningkatan beban vena pulmonalis, kemudian mendesak paru-paru dan akhirnya terjadi oedema. Hemoptisis dapat terjadi pada dekompensasi kordis karena dinding kapiler jantung sangat tipis dan rentan sehingga dapat mengakibatkan perdarahan.
2. Gagal jantung kanan
Gangguan pompa ventrikel kanan mengakibatkan aliran darah ke paru-paru menurun ada akhirnya curah jantung menurun. Tekanan dan volume akhir diastole ventrikel meningkat sehingga terjadi bendungan di atrium kanan yang mengakibatkan bendungan vena kava. Akibat bendungan di vena kava maka aliran vena hepatikum, vena dari lien terbendung akhirnya timbul hepatosplenomegali, asites, edema perifer terutama kaki.


G. Pathways



H. Fokus intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas miokardial (Doenges, 2000: 55).
Kriteria hasil:
a. Menunjukkan tanda vital dalam batas normal.
b. Melaporkan penurunan episode dispnea, angina.
c. Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi:
a. Palpasi nadi perifer dan pantau tekanan darah.
b. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis.
c. Pantau haluaran urine.
d. Kaji perubahan pada sensori, contoh: letargi, bingung, disorientasi, cemas dan depresi.
e. Periksa nyeri tekan betis, pembengkakan, kemerahan lokal atau pucat pada ekstremitas.
f. Pemberian cairan IV, hindari cairan garam.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolus.
a. Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenasi adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh GDA/ oksigenasi dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
b. Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/ situasi.
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi napas, catat krekels, mengio.
b. Anjurkan pasien batuk efektif, napas dalam.
c. Dorong perubahan posisi sering.
d. Pertahankan duduk dengan posisi semi fowler, gotong tangan dengan bantal.
e. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen/ kebutuhan, kelebihan.
Kriteria hasil:
a. Berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri.
b. Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital dalam batas normal selama aktivitas.
Intervensi:
a. Periksa tanda vital sebelum dan setelah aktivitas.
b. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat.
c. Kaji penyebab kelemahan, contoh pengobatan, nyeri, obat.
d. Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas.
e. Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi.
f. Kolaborasi program rehabilitasi jantung/ aktivitas.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/ meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/ air.
Kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan dan pengeluaran, berat badan stabil dan tak ada edema.
b. Menyatakan pemahaman tentang/ pembatasan cairan individual.
Intervensi:
a. Pantau haluaran urine, catat jumlah dan warna.
b. Pantau/ hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24 jam.
c. Pertahankan tirah baring dengan posisi semi fowler.
d. Timbang berat badan tiap hari.
e. Pantau tanda vital (TD).
f. Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, misal: distensi abdomen, konstipasi.
g. Berikan makanan yang mudah dicerna porsi kecil dan sering.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan integritas kulit.
b. Mendemonstrasikan prilaku/ teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi:
a. Lihat kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya terganggu/ pigmentasi, atau kegemukan/ kurus.
b. Ubah posisi sering di tempat tidur/ kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/ aktif.
c. Berikan perawatan kulit sering, meminimalkan dengan kelembapan/ eksresi.
d. Hindari obat intramuskuler.
e. Kolaborasi pemberian tekanan alternatif/ kasur.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
Tujuan dan Kriteria hasil:
a. Meningkatkan masukan oral.
b. Menunjukkan tidak adanya tanda-tanda malnutrisi.
Intervensi:
a. Identifikasi faktor-faktor yang mendukung, mual-muntah, nyeri, dispnea yang berat.
b. Atur tindakan pernapasan satu jam sebelum makan.
c. Auskultasi bunyi abdomen, observasi distensi abdomen.
d. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering.
e. Evaluasi status nutrisi.

Asuhan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Sedang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA SEDANG


A. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.

B. PATOFISIOLOGI
Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.

Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
Cidera otak
Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :
1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.

2. hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.

3. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :
- Gangguan kesadaran
- Konfusi
- Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
- Tiba-tiba defisit neurologik
- Perubahan TTV
- Gangguan penglihatan
- Disfungsi sensorik
- lemah otak


C. PATHWAYS






























D. TANDA DAN GEJALA
• Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
• Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
• Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
• Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
• Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• CT Scan
• Ventrikulografi udara
• Angiogram
• Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
• Ultrasonografi

F. PENATALAKSANAAN
1. Air dan Breathing
- Perhatian adanya apnoe
- Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
- Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3. disability (pemeriksaan neurologis)
- Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal
- Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil

G. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
H. PENGKAJIAN SKUNDER
- Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
- Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
- Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
- Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG
- Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
- Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain

I. DIAGNOASA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
2. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
3. Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
4. Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
5. Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
7. Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
8. Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih



J. RENCANA KEPERAWATAN
1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
- Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
- Monitor status neurologis
- Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
- Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
- Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK
- Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi

2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :
- Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
- Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
- Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
- Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
- Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
- Catat pengembangan dada
- Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
- Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif
- Lakukan program medik
3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi :
- Kaji irama atau pola nafas
- Kaji bunyi nafas
- Evaluasi nilai AGD
- Pantau saturasi oksigen

4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi :
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
- Kaji frekuensi pernafasan
- Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
- Kolaburasi : monitor AGD

5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
- Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
- Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur
- Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
- Pasang pagar tempat tidur
- Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
- Pertahankan tirah baring

6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi :
- Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan
- Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
- Catat makanan yang masuk
- Kaji cairan gaster, muntahan
- Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
- Laksanakan program medik

7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :
- Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
- Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
- Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi

Asuhan Keperawatan Pasien Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI
(BPH)


A. PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali, Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar psostat.
B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

C. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

D. PATHWAYS KEPERAWATAN



Sumber: (Mansjoer A, 2000. hal: 329)
(Poernomo, 2000. hal: 74 -76)
E. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
4. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
3. Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a. Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b. Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1. Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c. Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3. Terapi bedah
a. TURP
b. TUIP
c. Prostatektomi terbuka
4. Terapi invasif minimal
a. TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b. Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c. High Intensity Focus Ultrasound
d. Ablasi jarum trans uretra
e. Stent Prostat
H. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
a. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
b. Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
c. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
1) pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
2) penggunaan alat-alat bantu
3) penggunaan obat-obatan.
d. Pola Aktivitas
1) pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2) pembatasan gerak
3) alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e. Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
1) Pola tidur dan istirahat
2) Persepsi, kualitas, kuantitas
3) Penggunaan obat-obatan.
f. Pola Kognitif – Perseptual
1) Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2) Kemampuan bahasa
3) Kemampuan membuat keputusan
4) Ingatan
5) Ketidaknyamanan dan kenyamanan
g. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
1) Body image
2) Identitas diri
3) Harga diri
4) Peran diri
5) Ideal diri.
h. Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
1) Pola hubungan keluarga dan masyarakat
2) Masalah keluarga dan masyarakat
3) Peran tanggung jawab.
i. Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
1) Penyebab stress
2) Kemampuan mengendalikan stress
3) Pengetahuan tentang toleransi stress
4) Tingkat toleransi stress
5) Strategi menghadapi stress.
j. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
1) Masalah seksual
2) Pendidikan seksual.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
1) Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
2) Realisasi dalam kesehariannya.
2. Fokus Intervensi
a. Perubahan eliminasi urine; retensi berhubungan dengan obstruksi mekanikal; bekuan darah, trauma, prosedur bedah tekanan dan iritasi kateter (Doengoes, 2000, hal 679)
Kriteria hasil: Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Rencana intervensi:
1) Kaji haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih
Rasional : Retensi bisa terjadi karena oedema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas
Rasional : Kateter biasanya dilepas 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena oedema urethral dan kehilangan tonus.
4) Dorong masukan cairan 3.000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari, setelah kateter dilepas
Rasional : Mengurangi resiko bekuan akibat adanya perdarahan sekunder, pemasangan kateter, mengevakuasi residu urine akibat sumbatan bekuan darah.
5) Kolaborasi: pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai indikasi pada periode paska operasi dini
Rasional : Mencuci kandung kemih dari bekuan darah untuk mempertahankan patensi dan aliran kateter.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah; kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680)
Kriteria hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Rencana intervensi:
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan
Rasional : Gerakan atau penarikan kateter dapat mengakibatkan perdarahan atau pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
2) Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
3) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan atau berlanjut
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4) Evaluasi warna dan konsistensi urine
Rasional : Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Inspeksi balutan atau luka drain
Rasional : Perdarahan dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
6) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaporesis, membran mukosa kering dan pucat
Rasional : Dehidrasi dan hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk mencegah terjadinya syok.
7) Dorong pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Membilas ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengakibatkan intoksikasi cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
8) Kolaborasi: pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan dalam 4 – 5 jam, catat periode pemasangan dan pengendoran traksi
Rasional : Traksi berisi balon 30 cc, diposisikan pada fosa urethral prostat akan membuat tekanan pada aliran darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau mengontrol perdarahan.


9) Berikan pelunak feses, laxatif sesuai indikasi
Rasional : Pencegahan konstipasi dan mengejan dan defekasi menurunkan resiko perdarahan rectal perineal.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682)
Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak mengalami infeksi.
Rencana tindakan:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah
Rasional : Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk syok bedah sehubungan dengan manipulasi atau instrumentasi.
3) Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan perineal)
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
4) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5) Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi
d. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi) (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai dengan menunjukkan relaksasi, pasien tampak rileks atau istirahat dengan tepat.
Rencana intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10)
Rasional : Nyeri tajam dan intermiten menunjukkan adanya spasme kandung kemih.
2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase dan pertahankan selang bebas dari bekuan dan lekukan
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem menurunkan resiko distensi dan spasme kandung kemih.
3) Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong penggunaan teknik relaksasi
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan lagi perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
4) Kolaborasi pemberian analgetik/antispasmodik
Rasional : Mengurangi, dan merilekskan otot yang mengalami spasme.
e. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan luka dan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diit (Capernito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang mencukupi serat, protein, vitamin dan mineral.
Rencana intervensi:
1) Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal
Rasional : Dengan dukungan kebutuhan nutrisi yang adekuat membantu proses penyembuhan luka.
2) Pantau status hipermetabolisme
Rasional : Adanya riwayat penyakit diabetes akan menjadi penyulit untuk proses penyembuhan luka.
3) Evaluasi kemungkinan penyebab mual
Rasional : Adanya mual akan menghambat masukan nutrisi yang adekuat.
4) Pertahankan kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut yang mendukung
Rasional : Kebersihan gigi dan mulut membantu memelihara dan dapat meningkatkan nafsu makan yang baik.
5) Berikan alternatif makanan sesuai kondisi pasien
Rasional : Variasi jenis makanan dan sajian menghindari kejenuhan yang mengakibatkan ketidakcukupan masukan peroral.
6) Anjurkan untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1 – 2 jam setelah makan
Rasional : Gravitasi membantu penurunan isi usus sehingga menghindarkan perasaan penuh dan mual.
7) Berikan anti emetik sebelum makan bila diindikasikan
Rasional : Pemberian anti emetik mencegah terjadinya mual akibat efek anastesi dan penyebab lainnya.
f. Resiko tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan penurunan peristaltik sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan obat nyeri (Carpenito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil:
Eliminasi efektif pasca operasi
Rencana intervensi:
1) Kaji bising usus
Rasional : Peristaltik yang tidak normal meningkatkan resiko konstipasi.
2) Anjurkan mobilisasi sesuai kondisi
Rasional : Mobilisasi meningkatkan kembalinya fungsi normal usus.
3) Tingkatkan faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit seimbang, masukan cairan adekuat, posisi yang tepat.
Rasional : Diit yang seimbang mencegah terjadinya kekurangan pengisian usus akibat kurang residu.
4) Kolaborasi dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi eliminasi dengan pemberian laxatif
Rasional : Bila lebih dari 3 hari tidak defekasi, dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
g. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis, inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana intervensi:
1) Berikan keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual
Rasional : Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : Impotensi fisiologis dapat terjadi selama prosedur radikal.
3) Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan pasien
Rasional : Syaraf fleksus mengontrol aliran darah ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen dan hipertropi dapat berulang.
4) Kolaborasi: rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah menetap atau tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
h. Kurang perawatan diri; mandi/hygiene berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap imobilisasi (Carpenito, 2000, hal 324)
Kriteria hasil: mendemonstrasikan kebersihan diri yang optimal
Rencana intervensi:
1) Kaji faktor penyebab dan penyulit
Rasional : Mencari penyebab kurang perawatan diri menentukan jenis bantuan yang diberikan pada pasien
2) Tingkatkan partisipasi optimal
Rasional : Keterlibatan pasien dalam merawat dirinya sendiri meningkatkan rasa percaya diri dan semangat hidup dan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3) Bantu dalam perawatan diri sesuai indikasi
Rasional : Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4) Berikan reinforcement positif atas kemampuan yang dicapai selama aktivitas
Rasional : Memberikan rasa percaya diri dan memberikan harga diri
5) Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Rasional : Partisipasi yang maksimal dapat dievaluasi sehingga bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
i. Kurang pengetahuan; kebutuhan belajar tentang kondisi/situasi prognosis, kebutuhan pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000, hal 684)
Kriteria hasil:
1) Menyatakan pemahaman prosedur bedah
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan
Rencana intervensi:
1) Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2) Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah-buahan, meningkatkan diit tinggi serat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi serta menurunkan resiko perdarahan pasca operasi
3) Diskusikan pembatasan aktivitas
Rasional : Peningkatan tekanan abdominal yang menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat menimbulkan resiko perdarahan
4) Berikan gambaran atau penjelasan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
Rasional : Lakukan penyuluhan kesehatan sesuai SAP yang berdasarkan pada kebutuhan informasi dari pasien.
5) Instruksikan perawatan lanjut atau kontrol
Rasional : Tindak lanjut untuk perawatan luka, pengangkatan jahitan dilakukan tenaga terlatih, dan kebutuhan pengobatan dapat disesuaikan dengan kondisi lukanya.

Selasa, 21 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Comotio Cerebri

ASUHAN KEPERAWATAN COMOTIO CEREBRI


A. Pengertian
Dalam beberapa buku dan literatur ada beberapa definisi dari Comotio cerebri atau gegar otak, diantaranya yaitu:
- Kamus Kedokteran, 2000
Comotio cerebri atau gegar otak adalah gangguan fungsional sementara tanpa kelainan organik, disebabkan oleh benturan langsung atau tidak langsung.
- Hudak & Gallo,1996
Gegar serebral adalah sindrom yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar. ini adalah disfungsi neurologis sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.
- Engram,B, 1998
Comotio Cerebri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kehilangan kesadaran sementara tanpa adanya kerusakan jaringan otak.
Pengertian Vulnus laceratum atau luka robek menurut Arif Mansjoer, dkk, 2000 adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul.
Sedangkan pengertian lain dari Vulnus laceratum merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compang-camping disebabkan proses benda yang permukaannya tidak rata (Sjamsuhidajat, Wim de Jong, 1997, hal. 105).

B. Kriteria Cedera Kepala
Kategori penentuan keparahan Cedera Kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS).(Arif Mansjoer,dkk, 2000, hal 3)
- Ringan : GCS 14-15
- Sedang : GCS 9-13
- Berat : GCS 3-8
Kategori penentuan keparahan Cedera Kepala menurut Barbara C Long, 1996, hal 204 : Cedera Kepala bisa terbuka atau tertutup, luka kepala terbuka akibat Cedera Kepala dengan pecahnya tengkorak, sedangkan Cedera Kepala tertutup diantaranya adalah :
- Comotio Cerebri : Tidak ada perubahan struktur
- Kontusio Cerebri : Ada perubahan struktur
- Laserasi : Ada perubahan struktur dan ada perdarahan.

C. Etiologi
Etiologi Comotio Cerebri biasanya berasal dari trauma langsung dan tidak langsung pada kepala :
1. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher.
2. Trauma langsung bila kepala langsung terluka.
Yang bisa mengakibatkan trauma langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah kecelakaan bermotor, jatuh, kecelakaan industri, dan olah raga. (Barbara, C.Long, 1996, hal. 203)
D. Pathofisiologi
Comotio Cerebri dengan disertai edema dapat menyumbat sirkulasi CSF baik langsung atau tidak yang berakibat tekanan intrakranial meningkat. Bersamaan dengan terjadinya edema otak gangguan sirkulasi lokal maupun sistemik dan dapat disertai anoksia. (Barbara C. Long, 1996, hal. 204)
Comotio Cerebri dapat menyebabkan perubahan fisiologis sehingga terjadi gangguan faal berbagai organ :
- Pola Pernafasan
Karena neurofisiologi pernafasan sangat kompleks, kerusakan neurologis dapat menimbulkan masalah pada beberapa tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur kontrol volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan pada sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Nukleus dan area otak tengah dari batang otak mengatur automatisasi pernafasan.
Pusat ini bisa dicederai oleh peningkatan TIK dan hipoksia serta oleh cedera langsung atau interupsi aliran darah. Comotio Cerebri yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya dapat menimbulkan gagal pernafasan yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pola pernafasan berbeda dapat diidentifikasi bila terdapat disfungsi intrakranial. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 229).
- Kerusakan Mobilitas Fisik
Akibat utama dari Comotio Cerebri dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusaka pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai kontrol volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambat serebral dari gerakan atau nuclonter terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan spasitisitas dan kontraktur. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 230).
- Keseimbangan Hidrasi
Hampir semua pasien Comotio Cerebri akan mempunyai masalah untuk mempertahankan status hidrasi yang seimbang. Dalam keadaan stress fisiologis makin banyak hormon antidiuretik dan makin banyak aldosteron di produksi mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses membaik dengan sendirinya dalam sehari atau dua hari bila diuresis terjadi. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 230-231).
- Aktivitas Menelan
Suatu keadaan katabolisme dan keseimbangan nitrogen negatif adalah temuan yang umumnya pada pasien dengan Comotio Cerebri. Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adaya makanan pada sisi mulut dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah. Selain itu reflek menelan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali. Hasil fungsional adalah tersedak, batuk tidak efektif atau tidak dan aspirasi makanan atau cairan. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 231-233) .
- Kemampuan Komunikasi
Pasien dengan Comotio Cerebri disertai gangguan, kemampuan komunikasi bukan tidak terjadi secara tersendiri. Kerusakan ini akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa dan gangguan afasia khusus, bila ada.
Pasien yang telah mengalami cedera pada area hemisfer serebral dominan dapat menunjukkan disfasia. Kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk dari bahasa tersebut. (Hudak dan Gallo, 1996, hal. 233).


E. Pathways























F. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang
- Manifestasi Klinis Comotio Cerebri menurut Hudak & Gallo, 1996 :
• Penurunan kesadaran beberapa detik, disorientasi dan bingung dalam waktu yang relatif singkat.
• Sakit kepala
• Tidak mampu untuk berkonsentrasi
• Gangguan memori sementara
• Beberapa penderita mengalami amnesia retrograd
- Pemeriksaan Penunjang
• Skan Ct
Mengidentifikasi adanya SOI, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
• Angiografi Serebral
Menunjukkan adanya kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, cedera.
• EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
• Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan edema), adanya fragmen tulang.
• GDA
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
• BAER (Brain Auditory E.V, Ok.ed Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
• PET (Positron Emission to Tomography)
Menunjukkaan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
(Doenges, ME, 2000, hal. 272)

G. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
Dalam pengelolaan pasien dengan comotio cerebri dan vulnus laceratum, pengkajian yang dilakukan lebih dispesifikkan untuk mencari data fokus yang mengidentifikasi pada kasus comotio cerebri dan vulnus laceratum.Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera-cedera mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. Pengkajian yang dilakukan yaitu:
- Aktivitas atau Istirahat
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan,perubahan kesadaran, letarge, hemiparese, quadreplegia, cedera ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik, masalah dalam keseimbangan, cara berjalan tidak tegap.
- Sirkulasi
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi) perubahan frekuensi jantu
- Integritas Ego
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya perubahan tingkah laku atau kepribadian, cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, impulsif.
- Eliminasi
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya inkontinentia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
- Makanan atau Cairan
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya mual, muntah, mengalami perubahan selera, gangguan menelan.
- Neurosensori
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sirkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas. perubahan dalam penglihatan, gangguan pengecapan dan juga penciuman.perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, Perubahan pupil, kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman, pendengaran, sangat sensitif terhadap sentuhan dan getaran, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
- Nyeri atau Kenyamanan
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama wajah menyeringai, respon menarik rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
- Pernafasan
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi, positif.
- Keamanan
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya cedera baru/cedera karena kecelakaan,fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, demam, gangguan dalam regulasi satu tubuh.
- Interaksi Sosial
Gejala dan tanda yang muncul diantaranya afasia motorik atau sensorik,bicara tanpa arti bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
(Doenges, ME, 2000, hal 270-272)

2. Fokus Intervensi
Diagnosa keperawatan pada Comotio Cerebri adalah :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh hemoragi, hematoma : edema serebral, penurunan tekanan darah sistemik atau hipoxia. (Doenges, ME, 2000, hal. 273)
Kriteria hasil : - Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan.
- Kognitif dan fungsi motorik atau sensorik.


- Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

Intervensi :
• Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misal Glasgow Coma Scale).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
• Pantau tekanan darah, frekuensi jantung, pernafasan
Rasional : Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal atau menyebar perubahan pada ritme dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi atau cedera, batang otak, pola nafas tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya gangguan cerebral atau peningkatan TIK.
• Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
• Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat turgor kulit dan keadaan membran mukosa.
Rasional : Indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan TIK (Doenges, ME., 2000, hal 45).
Kriteria hasil : - Melaporkan nyeri atau ketidaknyamanan atau hilang terkontrol
- Mengungkapkan metode yang memberikan pengurangan
- Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
Intervensi
• Mempertahankan tirah baring.
Rasional : Meminimalkan stimulasi atau meningkatkan relaksasi.
• Berikan tindakan non farmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misal : kompres dingin pada dahi.
Rasional : Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral dan memperlambat atau memblok respons simpatis efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.
• Hilangkan atau minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala seperti : membungkuk, mengejan saat BAB, batuk panjang.
Rasional : Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala.
• Kolaborasi pemberian analgesik
Rasional : Menurunkan atau mengontrol nyeri dan menurunkan rangsang sistem saraf simpatis.
c. Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi, trakheo bronkhial (Doenges, ME, 2000, hal 277)
Kriteria hasil : Mempertahankan pola pernafasan normal atau efektif bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
• Pantau frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
Rasional : Perubahan dapat menandakan awalan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi atau luasnya keterlibatan otak.
• Catat kompetensi reflek menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan nafas.
• Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisinya sesuai indikasi.
Rasional : Memudahkan ekspansi paru atau ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
• Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika sadar.
Rasional : Mencegah atau menurunkan atelektasis.
• Auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara tambahan yang tidak normal.
Rasional : Mengidentifikasi adanya masalah paru.
d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan cedera atau defisit neurologis (Doenges, ME, 2000, hal. 278).
Kriteria hasil : Melakukan kembali atau mempertahankan tingkat kesadaran biasanya.
Mengakui perubahan dalam kemampuan.
Intervensi
• Evaluasi atau pantau secara teratur, perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan atau afektif, sensorik dan proses pikir.
Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat cedera awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau pendarahan.
• Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas atau dingin.
Rasional : Informasi penting untuk keamanan pasien.
• Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas.
Rasional : Menurunkan frustasi yang berhubungan dengan kemampuan atau pola respons yang memanjang.

• Berikan keamanan terhadap pasien
Rasional : Agitasi gangguan pengambilan keputusan.
e. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis
Kriteria hasil : - Mempertahankan atau melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya.
- Mengenali perubahan berpikir atau perilaku.
- Berpartisipasi dalam aturan terapeutik kognitif.
Intervensi :
• Kaji rentang perhatian, kebingungan dan catat tingkat ansietas pasien
Rasional : Rentang perhatian atau kemampuan untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas.
• Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian atau tingkah laku pasien sebelum mengalami cedera dengan respon pasien sekarang.
Rasional : Masa pemulihan Comotio Cerebri meliputi fase agitasi respon marah, dan berbicara atau proses pikir yang kacau.
• Pertahankan bantuan yang konsisten oleh staf atau keberadaan staf sebanyak mungkin.
Rasional : memberikan pasien perasaan yang stabil dan mampu mengontrol situasi.
f. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan atau tahanan, terapi pembatasan misal tirah baring, immobilisasi (Doenges, ME, 2000, hal. 282)
Kriteria hasil : - Melakukan kembali atau mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan oleh tak adanya kontraktur footdrop.
- Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian bagian tubuh yang sakit dan atau kompensasi.
- Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas.
Intervensi :
• Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi
Rasional : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
• Kaji derajat mobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
Rasional : Pasien mampu mandiri (nilai 0), memerlukan bantuan minimal (nilai 1), memerlukan bantuan sedang (nilai 2) memerlukan bantuan atau peralatan yang terus menerus dengan alat khusus (nilai 3) atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4).
• Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
Rasional : Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
• Instruksikan atau bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi
Rasional : Proses pertumbuhan yang lambat seringkali menyertai Comotio Cerebri dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari suatu program pemulihan tersebut.
g. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan cedera jaringan, kulit rusak, prosedur invasif, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi (Doenges, ME, 2000, hal 284).
Kriteria hasil : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.

Intervensi :
• Berikan perawatan aseptik-antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
• Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam
Rasional : Dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi dan tindakan segera.
• Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan)
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi.
• Berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Terapi profilaktif dapat digunakan pada pasien yang mengalami cedera (perlukaan)
h. Resiko tinggi terjadi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran) kelemahan otot mengunyah, menelan (Doenges, ME, 2000, hal. 285)
Kriteria hasil : - Mendemonstrasikan pemeliharaan atau kemajuan peningkatan BB sesuai tujuan
- Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi.


Intervensi
• Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
Rasional : Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi.
• Auskultasi bising usus
Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus Comotio Cerebri.
• Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien
Rasional : Menurunkan terjadinya aspirasi.
• Beri makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur
Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
Photobucket