Selasa, 27 Desember 2011

Asuhan Keperawatan HIV - AIDS

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV-AIDS


Konsep Dasar
I. Pengertian
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

II. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks. 5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
III. Patofisiologi :

IV. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- Hematokrit.
- LED
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobulin


Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian.
3. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
4. Penampilan umum : pucat, kelaparan.
5. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
6. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
7. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
8. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
9. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
10. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
11. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
12. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
13. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
14. Gu : lesi atau eksudat pada genital,
15. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.

III. Perencanaan keperawatan.
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil Intervensi Rasional
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat. 1. Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2. gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.
3. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order Untuk pengobatan dini
Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.

Mencegah bertambahnya infeksi


Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan

Mempertahankan kadar darah yang terapeutik
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC. 1. Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2. Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Gunakan masker bila perlu.
Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini

Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas. 1. Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2. Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3. Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Respon bervariasi dari hari ke hari

Mengurangi kebutuhan energi

Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit. 1. Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2. Monitor BB, intake dan ouput
3. Atur antiemetik sesuai order
4. Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
Menentukan data dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien

Diare berhubungan dengan infeksi GI
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang, 1. Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4. Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside Mendeteksi adanya darah dalam feses

Hipermotiliti mumnya dengan diare
Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal
Untuk menghilangkan distensi
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif 1. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2. Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.




Daftar Pustaka

Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta


Asuhan Keperawatan Amputasi

ASUHAN KEPERAWATAN AMPUTASI


A. PENGERTIAN
Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap. (R. Sjamsudiat dan Wim de jong, 1997 : 1288)
Amputasi adalah pemisahan anggota badan atau bagian lain dengan pembedahan. (H.T. Laksman, 2000 : 13)
Amputasi merujuk pada pengangkatan semua atau sebagian ekstremitas. (Barbara Engram, 1999 : 343)
Ada 2 jenis amputasi , yaitu :
1. Amputasi terbuka (guillotine)
Amputasi ini dilakukan atas indikasi enfeksi berat, meliputi pemotongan tulang dan jaringan otot pada tingkat yang sama. Pembuluh darah dikauterisasi dan luka dibiarkan terbuka, diberi balutan besar. Untuk mencegah retraksi kulit, diberikan skin traction.
2. Amputasi tertutup
Luka ditutup dengan flap kulit sesuai dengan bentuk puntung.

B. ETIOLOGI
Amputasi dapat terjadi dengan sendirinya karena proses patologi, misal pada gangren, penyakit kusta, trauma dan kelainan bawaan.
Amputasi dapat pula dikerjakan atas indikasi , yaitu :
1) Medis
a. Ruda paksa yang menyebabkan hancurnya sebagian atau seluruh anggota tubuh untuk menyelamatkan jiwa.
b. Karena penyakit, agar jaringan yang masih baik dapat dimanfaatkan.
2) Hukuman
Amputasi dilakukan sebagai hukuman atas tindak kejahatan.

C. BATAS AMPUTASI
Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit.
1. Pada cedera, ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat.
2. Pada tumor, ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan lokal.
3. Pada penyakit pembuluh darah, ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas dan daya sembuh luka puntung.

Pada ekstremitas atas, tidak dipakai batas amputasi tertentu, sedangkan pada ekstremitas bawah lazim dipakai “ Batas Amputasi Klasik “.
1. Eksartikulasi jari kaki.
2. Transmetatarsal.
3. Artikulasi pergelangan kaki ( Amputasi Syme ).
4. Tungkai bawah (batas amputasi ideal).
5. Tungkai bawah batas amputasi minimal.
6. Eksartikulasi lutut.
7. Tungkai atas (jarak minimal dari sela lutut).
8. Tungkai atas batas amputasi yang lazim dipakai.
9. Tungkai atas batas amputasi minimal.
10. Eksartikulasi tungkai.
11. Hemipelvektomi.


Batas amputasi klasik.
Penilaian batas amputasi :
1. Jari dan kaki
Pada amputasi jari tangan dan kaki penting untuk mempertahankan falanx dasar. Amputasi transmetatarsal memberi puntung yang baik. Amputasi di sendi tarso-metatarsus lisfranc mengakibatkan per ekuinus dengan pembebanan berlebih pada kulit ujung puntung yang sukar ditanggulangi.
2. Proksimal sendi pergelangan kaki
Amputasi transmaleolar baik sekali bila kulit tumit utuh dan sehat sehingga dapat menutup ujung puntung.
3. Tungkai bawah
Panjang puntung tungkai bawah paling baik antara 12 dan 18 cm dari sendi lutut, tergantung keadaan setempat, usia penderita dan tinggi badan. Bila jarak dari sendi lutut kurang dari 5 cm, protesis mustahil dapat dikendalikan.
4. Eksartikulasi kulit
Eksartikulasi lutut menghasilkan puntung yang baik sekali. Amputasi ini dapat dilakukan pada penderita geriatrik.
5. Tungkai atas
Puntung tungkai atas sebaiknya tidak kurang dari 10cm dibawah sendi panggul, karena bisa menyebabkan kontraktur fleksi-abduksi-eksorotasi. Puntung juga tidak boleh kurang dari 10 cm diatas sendi lutut karena ujung puntung sepanjang ini sukar dibebani. Eksartikulasi dapat menahan pembebanan.
6. Sendi panggul dan hemipelvektomi
Eksartikulasi sendi panggul kadang dilakukan pada tumor ganas. Protesis akan lebih sukar dipasang. Protesis untuk hemipelvektomi tersedia, tetapi memerlukan kemauan dan motivasi kuat dari penderita.
7. Tangan
Amputasi parsial jari atau tangan harus sehemat mungkin setiap jari dengan sensitibilitas kulit dan lingkup gerak utuh berguna sekali sebab dapat digunakan untuk fungsi menggenggam atau fungi oposisi ibu jari.
8. Pergelangan tangan
Dipertahankan fungsi pronasi dan supinasinya. Tangan mioelektrik maupun kosmetik dapat dipakai tanpa kesulitan.
9. Lengan bawah
Batas amputasi di pertengahan lengan bawah paling baik untuk memasang protesis. Puntung harus sekurang-kurangnya distal insersi M. Biseps dan M. Brakhialis untuk fleksi siku.
10. Siku dan lengan atas
Ekssartikulasi siku mempunyai keuntungan karena protesis dapat dipasang tanpa fiksasi sekitar bahu.
Pada amputasi di diafisis humerus, protesis harus dipertahankan dengan ikatan dan fiksasi pada bahu.
Eksartikulasi bahu dan amputasi intertorakoskapular , yang merupakan amputasi termausk gelang bahu, ditangani dengan protesis yang biasanya hanya merupakan protesis kosmetik.


D. KOMPLIKASI
Komplikasi pasca operasi utama adalah infeksi, hemoragi, kontraktur, emboli lemak dan sensasi phantom limb.
Masalah nyeri phantom kadang sukar diatasi. Setelah amputasi selalu terdapat perasaan bagian ekstremitas yang hilang masih ada, dan setiap penderita akan mengalaminya. Sebagian penderita merasa terganggu sedangkan sebagian lagi merasakannya sebagai nyeri.
Rasional untuk fenomema ini tak jelas, tetapi diyakini berhubungan dengan inflamasi potongan ujung saraf. Meskipun jarang, sensasi phantom limb dapat menjadi kronis, masalah berat yang memerlukan intervensi lebih agresif seperti blok saraf, psikoterapi, terapi obat, stimulasi saraf listrik, atau eksisi neuroma.



KONSEP KEPERAWATAN


A. Pra Operasi
1. Pengkajian
a. Monitor status neurovaskuler kedua ekstremitas.
b. Observasi daerah yang akan dibedah.
c. Observasi tanda vital.
d. Kaji perasaan dan pengetahuan tentang amputasi dan dampaknya pada gaya hidup.
e. Diskusikan dengan klien tentang perubahan body image yang akan terjadi, tentang kehilangan dan berduka.
2. Diagnosa Keperawatan dan Perencanaannya.
a. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit, cedera.
Tujuan : Nyeri berkurang sampai hilang dengan kriteria : skala nyeri 0-3, ekspresi wajah tenang, tidak gelisah, vital sign normal.
Tindakan :
1) Kaji nyeri klien (kualitas, daerah/area, keparahan dengan skala nyeri, waktu).
2) Berikan tindakan penghilang nyeri.
- Ajarkan teknik relaksasi.
- Teknik pengalihan perhatian.
3) Berikan kesempatan pada klien untuk istirahat.
4) Berikan posisi nyaman.
5) Kolaborasi pemberian pereda nyeri optimal.
b. Ansietas berhubungan dengan pengetahuan tentang prosedur pembedahan.
Tujuan : Ansietas berkurang sampai hilang dengan kriteria : klien melaporkan ansietas berkurang / hilang , klien memahami tentang prosedur pembedahan, klien tenang.
Tindakan :
1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa takut dan cemasnya.
2) Bantu klien untuk mengungkapkan perasaanya pada orang terdekat.
3) Kurangi stimulus yang berlebihan , misal : kurangi kontak dengan orang lain.
4) Berikan ketentraman hati dengan menunjukkan sikap tenang, empati dan mensuplai koping yang efektif dari klien.
5) Anjurkan klien untuk melatih kekuatan otot.
- Latihan berjalan.
- Latihan lengan dengan trapeze.
- Latihan kontraksi gluteal.
- Latihan otot quadriceps.
6) Dukung dokter agar bersedian menjelaskan prosedur operasi dan sensasi phantom limb pada post operasi.
7) Kolaborasi pemebrian obat bila ada indikasi.

B. POST OPERASI
1. Pengkajian
a. Kaji nyeri (sensai phantom limb).
b. Kaji vital sign (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan).
c. Kaji tipe balutan dan plester penekan.
d. Kaji jumlah perdarahan, warna pada drainage, ada atau tidaknya drainage.
e. Kaji posisi stump.
f. Kaji infeksi jaringan, kontraktur dan deformitas abduksi.
2. Diagnosa Keperawatan dan Perencanaannya.
a. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan / hemoragi pasca operasi.
Tujuan : Tidak kekurangan volume cairan dengan kriteria hasil : vital sign normal, tidak ada tanda dan gejala dehidrasi.
Tindakan :
1) Monitor TTV (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan).
2) Kaji intake dan output cairan.
3) Kaji pasien selama 24 jam pertama periode pasca operaaaasi untuk indikator perdarahan dan ancaman syok.
4) Inspeksi balutan bedah untuk melihat perdarahan.
5) Monitor jumlah dan karakter drainage.
6) Kolaborasi pemberian cairan parenteral.

b. Nyeri berhubungan dengan sensasi fantom limb, insisi bedah sekunder terhadap amputasi.
Tujuan : Nyeri berhubungan dengan kriteria hasil skala nyeri 0-3, ekspresi wajah rileks, tidak merintih, vital sign normal.
1) Jelaskan pada klien bahwa sensasi ini sering timbul dari bagian yang diamputasi.
2) Kaji tingkat nyeri (kualitas, daerah/area, keparahan dengan skala nyeri, waktu).
3) Ajarkan teknik relaksasi.
4) Berikan posisi nyaman.
5) Kolaborasi pemberian pereda nyeri optimal.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan ekstremitas.
Tujuan : konsep diri positif dengan kriteria pasien menerima perubahan fisik.
Tindakan :
1) Dorong klien untuk melihat dan menyentuh puntung serta mengekspresikan perasaannya tentang amputasi.
2) Tunjukkan sikap penerimaan dan empati pada klien.
3) Libatkan klien dalam perawatan , misal : pada penggantian pakaian.
4) Kolaborasi dengan psikolog.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan cara berdiri sekunder terhadap amputasi ekstremitas bawah.
Tujuan : Mobilitas fisik normal dengan kriteria hasil klien dapat menunjukkan penggunaan teknik penguatan otot, untuk meningkatkan mobilisasi.
Tindakan :
1) Beritahu klien tentang kesulitan dalam adaptasi cara berdiri akibat amputasi.
2) Beritahu klien tentang cara mencegah perubahan, cara berdiri dengan penguatan otot gluteus dan abdomen saat berdiri.
3) Sebelum ambulasi, pastikan ekstremitas atas klien mempunyai kekuatan yang diperlukan untuk alat bantu.
4) Diskusikan dan demonstrasikan cara menggunakan alat bantu.
5) Bantu klien untuk menggunakan alat bantu.

DAFTAR PUSTAKA


Doengoes, Marilynn. E,.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.EGC : Jakarta.

Engram, Barbara. (1990). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC

R. Sjamsuhidayat dan Wim de jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Swearingan, Pamela. L (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

Asuhan Keperawatan Amputasi 2

ASUHAN KEPERAWATAN AMPUTASI


Pengertian Amputasi
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.
Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.

Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
6. Deformitas organ.

Jenis Amputasi
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
1. amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir
2. amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
3. amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
Jenis amputasi yang dikenal adalah :
1. amputasi terbuka
2. amputasi tertutup.
Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.
Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).
Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya.

Manajemen Keperawatan
Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap postoperatif.
a. Pre Operatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi.
Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik, khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.


Pengkajian Riwayat Kesehatan
Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.

Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :
SISTEM TUBUH KEGIATAN
Integumen :
Kulit secara umum.
Lokasi amputasi Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.
Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus return.
Sistem Cardiovaskuler :
Cardiac reserve
Pembuluh darah Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian terhadap elastisitas pembuluh darah.
Sistem Respirasi Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas.
Sistem Urinari Mengkaji jumlah urine 24 jam.
Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.
Cairan dan elektrolit Mengkaji tingkat hidrasi.
Memonitor intake dan output cairan.
Sistem Neurologis Mengkaji tingkat kesadaran klien.
Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan sensorik daerah yang akan diamputasi.
Sistem Mukuloskeletal Mengkaji kemampuan otot kontralateral.



Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis ( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada makalah ini.

Laboratorik
Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.



Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul antara lain :
1. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
Karakteristik penentu :
- Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.
- Menyatakan kurang pemahaman.
- Meminta informasi.
Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.
Kriteria evaluasi :
- Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.
- Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.
INTERVENSI RASIONAL
Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.

Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.

Mengatur waktu khusus dengan klien untuk berdiskusi tentang kecemasan klien. Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan meningkatkan rasa saling percaya.

Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi klien.

Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih akurat.

2. Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.
Karakteristik penentu :
- Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.
- Takut kecacatan.
- Rendah diri, menarik diri.
Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.
Kriteria evaluasi :
- mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.
- Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yangbaru.
INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang dampak pembedahan pada gaya hidup.

Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.

Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah.

Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi amputasi. Mengurangi rasa tertekan dalam diri klien, menghindarkan depresi, meningkatkan dukungan mental.

Membantu klien mengapai penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik rasionalisasi.

Meningkatkan dukungan mental.

Strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan citra diri.

Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain :
Mengatasi nyeri
- Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
- Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
- Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
- Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk mencegah kontraktur.
- Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
- Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi, untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi, memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
- Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim bedah.
- Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu ( karena tidak semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler perifer, luka yang terbuka ).
- Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan protese.
- Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.

b. Intra Operatif
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.
Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif.
Makalah ini tidak membahas secara detail kegiatan intraoperasi.

c. Post Operatif
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri.
Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah.
Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien.
Perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain adalah :
1. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
- Menyatakan nyeri.
- Merintih, meringis.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
Kriteria evaluasi :
- Menyatakan nyeri hilang.
- Ekspresi wajah rileks.
INTERVENSI RASIONAL
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom limb



Beri analgesik ( kolaboratif ).

Ajarkan klien memberikan tekanan lembut dengan menempatkan puntung pada handuk dan menarik handuk dengan berlahan. Sensasi panthom limb memerlukan waktu yang lama untuk sembuh daripada nyeri akibat insisi.
Klien sering bingung membedakan nyeri insisi dengan nyeri panthom limb.

Untuk menghilangkan nyeri

Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom limb

2. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
- Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.
- Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.
- Depresi.
Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.
Kriteria evaluasi :
- Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.
- Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.
INTERVENSI RASIONAL
Validasi masalah yang dialami klien.

Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri yang langsung menggunakan putung :
- Perawatan luka.
- Mandi.
- Menggunakan pakaian.

Berikan dukungan moral.

Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah menerima diri. Meninjau perkembangan klien.

Mendorong antisipasi meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh.

Meningkatkan status mental klien.

Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.

3. Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak berhubungan dengan amputasi
Karakteristik penentu :
- Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.
Tujuan : tidak terjadi komplikasi.
Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.
INTERVENSI RASIONAL
Infeksi
Lakukan perawatan luka adekuat.
Mencegah terjadinya infeksi.
Perdarahan
Pantau :
-Masukan dan pengeluaran cairan.

- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.

- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
-
Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.

Sebagai monitor status hemodinamik

Indikator adanya perdaraham masif

Emboli lemak
Monitor pernafasan.


Persiapkan oksigen


Pertahankan posisi flower atau tetap tirah baring selama beberapa waktu
Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin

Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu dperlukan untuk tindakan yang cepat.

Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau memudahkan pernafasan.

Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :
Melakukan perawatan luka postoperasi
- Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
- Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan –1 tahun).
Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri
- Memberi dukungan psikologis.
- Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.
Mencegah kontraktur
- Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
- Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya kontraktur.
Aktivitas perawatan diri
- Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).
- Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
- Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese.
- Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
- Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese.


Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi.(anas)
REFERENSI
Engram, Barbara ( 1999 ), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah, edisi Indonesia, EGC, Jakarta.

Brunner, Lillian S; Suddarth, Doris S ( 1986 ), Manual of Nursing Practice, 4th edition, J.B. Lippincott Co. Philadelphia.

Kozier, erb; Oliveri ( 1991 ), Fundamentals of Nursing, Concepts, Process and Practice, Addison-Wesley Co. California.

Reksoprodjo, S; dkk ( 1995 ), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

Asuhan Keperawatan Asam Urat, Gout

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN METABOLISME PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL (GOUT / ASAM URAT)


1. Asuhan keperawatan pada pasien Gout/Pirai
Gout adalah peradangan akibat adanya endapan kristal asam urat pada sendi dan jari.
Patofisiologi
Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang mengandung asam urat tinggi, dan sistem ekskresi asam urat yang tidak adequat akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di dalam plasma darah (Hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat menunpuk dalam tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi lokal dan menimbulkan respon inflamasi.
Hiperurecemia merupakan hasil:
- meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purine abnormal
- menurunnya ekskresi asam urat
- kombinasi keduanya
Gout sering menyerang wanita post menopouse usia 50 – 60 tahun. Juga dapat menyerang laki-laki usia pubertas dan atau usia di atas 30 tahun. Penyakit ini paling sering mengenai sendi metatrsofalangeal, ibu jari kaki, sendi lutut dan pergelangan kaki.

Pengkajian Keperawatan
Riwayat Keperawatan
- Usia
- Jenis kelamin
- nyeri (pada ibu jari kaki atau sendi-sendi lain)
- kaku pada sendi
- aktivitas (mudah capai)
- diet
- keluarga
- pengobatan
- pusing, demam, malaise, dan anoreksi
- takikardi
- pola pemeliharaan kesehatan
- penyakit batu ginjal

Pemeriksaan fisik
- identifikasi tanda dan gejala yang ada peda riwayat keperawatan
- nyeri tekan pada sendi yang terkena
- nyeri pada saat digerakkan
- area sendi bengkak (kulit hangat, tegang, warna keunguan)
- denyut jantung berdebar
- identifikasi penurunan berat badan

Riwayat Psikososial
- cemas dan takut untuk melakukan kativitas
- tidak berdaya
- gangguan aktivvitas di tempat kerja

Pemeriksaan diagnostik
- asam urat
- sel darah putih, sel darah merah
- aspirasi sendi terdapat asam urat
- urine
- rontgen

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya radang pada sendi
2. Gangguan mobilitas fisik b.d adanya nyeri sendi
3. Potensial terjadi perubahan pola miksi b.d adanya batu atau insufisiensi ginjal
4. Kurang pengetahuan tentang pengobatan dan perawatan di rumah
5. Gangguan integritas kulit b.d tophi (tofi)
6. Resiko : nyeri b.d batu ginjal

Perencanaan dan Implementasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri
Klien akan menunjukkan tingkat kenyamanan yang lebih baik (rasa nyeri berkurang)
- Istirahatkan sendi yang sakit dan berikan bantal dibawahnya
- Berikan kompres hangat
- Hindarkan factor penyebab munculnya iritasi pada tofi
- Berikan obat sesuai program
- Monitor efek samping obat

2. Gangguan mobilitas fisik
Pasien akan meningkatkan aktivitas sesuai kemampuan
- anjurkan pasien untuk melakukan gerakan-gerakan bila tidak ada rasa nyeri
- Lakukan ambulasi dengan bantuan missal dengan menggunakan “walker” atau tongkat
- Lakukan ROM secara berhati-hati

3. Kurang pengetahuan
Pasien dan keluarga akan meningkat pemahaman tentang penyakit gout dan cara perawatannya
- Jelaskan proses perjalanan penyakit
- Berikan jadwal/program pengobatan (nama obat, dosis, tujuan dan efek samping)
- Diskusikan pentingnya diit yang terkontrol


2. Asuhan keperawatan pada pasien Osteoporosis
Osteoporosis adalah gangguan metabolisme tulang berhubungan dengan usia ditandai adanya demineralisasi tulang yang berakibta menurunnya kepedatan tulang dan fraktur.

Patofisiologi
Masa tulang atau kepadatan tulang mencapai puncak pada usia 30- 35 tahun. Setelah mencapai puncak, tulang akan kehilangan Kalsium dari kortek, jaringan padat, lama kelamaan tulang keropos dan patah. Masa tulang akan menurun secara cepat pada masa postmenopouse
Diperkirakan 50% wanita usia lebih dari 65 tahun memiliki gejala osteoporosis. Osteoporosis dibedakan menjadi dua:
1. Osteopoprosis primer (paling umum) dibedakan menjadi dua (post menopouse terjadi pada usia 55 - 65 tahun & Senil osteoporosis terjadi pada lansia usia > 65 tahun)
2. Osteoporosis sekunder diakibatkan oleh kondisi medis seperti hiperparathyroid, penggunaan kortikosteroid dalam waktu lama dan lain-lain.
Patofisiologi secara pasti masih belum diketahui, namum diperkirakan oleh karena terjadinya penurunan aktivitas osteoblast dan peningkatan osteoklast

Etiology
Penyebab osteoporosis belum diketahui secara pasti, namun diidentifkiasi beberapa factor resiko memiliki andil terhadap terjadinya osteoporosis:
- lebih banyak terjadi pada wanita kulit pu tih, sesudah menopouse
- kurus
- latihan tidak teratur
- malabsorbsi
- diit
- kekurangan protein
- kekurangan protein
- alcohol
- rokok
- kafein
- Heriditer
- Usia Lanjut

Pencegahan
Ditujukan untuk meminimalisasi factor resiko yang mungkin, penekanannya adalah pada 3 faktor yaitu pengobatan, diet, dan latihan

Pengkajian
Riwayat Kesehatan
- usia, jenis kelamin, suku
- bentuk tubuh, Tinggi badan dan Berat Badan
- paparan dengan sinar matahari, rokok, penggunaan alcohol dan rokok
- Diit (Calcium dan Vitamin D)
- Latihan rutin dan type latihan
- Kesehatan sekarang (pengelolaan medis sekarang)
- Pengobatan dahulu dan sekarang
- Keluarga
- Riwayat jatuh atau pergerakan yang tiba-tiba
- Nyeri punggung atau panggul
- Adanya rasa nyeri tekan pada daerah bawah thorak, lumbal

Riwayat Psikososial
- adanya gangguan body image
- ketidakmampuan untuk duduk secara fit
- perubahan pola seksual
- perubahan status psikologi
- cemas dan takut terhadap program pengobatan

Pemeriksaan Fisik
Lakukan penekanan pada punggung apakah ada nyeri tekan
Adanya nyeri pergerakan
Amati adanya kelainan bentuk
Periksa mobilitas

Test Laborat
Tidak ada test laborat definitive untuk menegakkan diagnosa osteoporosis primer.
Test yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa osteoporosis sekunder atau gangguan metabolisme tulang adalah serum Calcium, Vit D, Posfor, Alkaline Phosfatase, Calcium dalam Urine, Serum protein, fungsi thyroid.
Test radiology ( CT)
Biopsi tulang
Diagnosa Keperawatan
1. Potensial cedera (fraktur) b.d demineralisasi, jatuh
2. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot, disfungsi, nyeri otot
3. Nyeri b. d fraktur
4. Intoleran terhadap aktivitas b.d nyeri dan gangguan mobilitas fisik
5. Cemas b.d takut akan terjadi fraktur ulang
6. Konstipasi b.d khyposis berat
7. Tidak efektifnya pola nafas b.d. rusaknya tulang belakang
8. Tidak efektifnya koping individu b.d. perkembangan penyakit kronik, perubahan bentuk tubuh
9. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tdak adequatnya intake Calcium
10. Gangguan body image b.d kelainan bentuk tulang belakang
11. Gangguan disfungsi seksual b.d nyeri punggung
12. Kurang pengetahuan b.d pengelolaan atau program treatmen
Potensial cedera (fraktur) b.d demineralisasi, jatuh
Tujuan: klien tidak akan mengalami jatuh dan fraktur akibat jatuh
- identifikasi dan hindari lingkungan yang memiliki potensial bahaya
- Ciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya untk klien selama di rumah sakit
- Sediakan support ambulasi bila diperlukan
- Ketika membantu melakukan ADL, cegah klien dari bahaya kecelakaan
- Anjurkan untuk tidak melakukan gerakan yang tiba-tiba, tidak mengangkat benda berat
- Ajarkan pentingnya mengkonsumsi makanan yang dapat mengurangi keparahan osteoporosis
- Jelaskan tentang efek samping merokok

Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot, disfungsi, nyeri otot
Tujuan: Klien akan meningkatkan mobilitas fisik sampai batas tidak tergantung dalam memenuhi ADL
- Konsultasikan pada ahli therapy fisik
- Beritahu dan ajarkan pentingnya latihan
- Konsultasikan dengan okupasiterapi
- Ajarkan cara-cara menggunakan alat bantu gerak

Nyeri b. d fraktur vertebrae
Tujuan: Klien akan turun tingkat nyerinya dan tidak tergantung dalam perawatan dirinya
- kaji perlunya digunakan obat anti nyeri
- Pertahankan alat yang digunakan untuk memfiksasi fraktur vertebrae
- Kaji kulit dimana alat dipasang dapat menekan
- Pasang letakkan secara tepat alat yang ada ketika pasien akan bangun dari tempat tidur
- Gunakan lotion untuk mengurangi rasa nyeri bila perlu
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN DEGENERASI PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

Asuhan keperawatan pada pasien dengan Osteoartrosis

Pengertian
Osteoartrosis/Osteoarthritis atau Degenerative Joint Disease merupakan penyakit kronik noninflamatory degeneration) dan bukan penyakit sistemik yang mengenai tulang dan tulang didekatnya.
Penyakit ini dapat mengenai satu sendi pada paha dan lutut namun dapat pula terjadi pada tulang belakang pada bagian servikal dan lumbosakral, interfalangeal, sendi bahu, dan sendi siku.

Penyebab
Secara pasti penyebab osteoartrosis belum diketahui , namun penyakit ini berhubungan dengan proses ketuaan, trauma, obesitas, stress mekanik, kelainan bawaan, dan kelainan-kelainan metabolic.

Pathofisology
Osteoartrosis ditandai dengan kerusakan dan atau hilangnya secara bertahap jaringan lunak sendi bagian tengah maupun tepi. Dapat berupa Osteoartrosis primer maupun sekunder.
Trauma baik ektrensik maupun intrisk pada kartilago dapat menyebabkan osteoartrosis. Trauma extrensik yaitu akibat adanya fraktur atau ruptur ligamen sedangkan trauma intrisik berupa adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal, dan terjadi penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaku, kerepitasi, deformitas, adanya hipertrofi atau nodul apad tangan.


Trauma


Perubahan metabolisme sendi

Kerusakan pada membran dan cairan sinovial Kerusakan pada kartilago matrik

Perubahan fungsi sendi

Nyeri

Stres persendian Fibrosis kapsuler kontraktur otot Deformitas sendi




Pengkajian

Riwayat Kesehatan
- usia dan jenis kelamin
- Riwayat pekerjaan
- Riwayat trauma
- Olah raga yang ditekuni saat ini maupun masa lalu
- Riwayat obesitas
- Riwayat keluaraga terkait dengan arthritis
- Penyakit lain yang dialami

Pemeriksaan fisik
- keluhan utama : nyri sendi (hilang pada istirahat dan meningkat saat aktifitas lama-lama saat istirahat)
- Kekakuan otot
- Krepitus
- Merasakan sendi menebal, kaku
- Sendi menebal karena hypertrofi
- Heberden’s node (pada sendi distal interfalangeal)
- Bouchard’s nodes (pada sendi proksimal interfalangeal)
- Kemerahan pada sendi
- Gangguan mobilitas
- Gangguan ADL





Photobucket